Bismillah, pecinta Radiosunnah Kita FM yang semoga Allah memberi keberkahan kepada Anda semuanya. Di postingan sebelumnya, kita sudah membahas mengenai Fiqh Haidh diantaranya adalah mengenai Definisi dan Hikmah Haidh, Usia Dan Masa Haidh, Hukum Darah Berhenti pada Masa Haidh, Hukum Shufroh (Lendir Kuning) dan Kudroh (Lendir Keruh), dan Tanda Suci Dari Haidh. Dan postingan kali ini kita akan melanjutkan pembahasan mengenai fiqh haidh yang selanjutnya, semoga bermanfaat.
Beberapa Hukum yang Berkaitan dengan Haidh
Shalat
Wanita haidh haram mengerjakan shalat, berdasarkan hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam kepada Fathimah Bintu Abi Hubais Radiyallahu ‘anhaa:
إِذَاأَقْبَلَتِالْحَيْضَةُفَدَعِيالصَّلاَةَ
“Jika datang masa haidhmu maka tinggalkanlah shalat ….”. (HR. Bukhari (331) dan Muslim (751)
Adapun dzikir, takbir, tahmid, tasbih, membaca hadits, fiqh, do’a maka tidak haram baginya. Telah tsabit dalam shohihain bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam membaca Al-Qur’an sambil bersandar pada pangkuan ‘Aisyah Radiyallahu ‘anhaa yang sedang haidh.
Adapun wanita haidh membaca al-Qur’an, para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini sebagian membolehkan dan yang lain melarang, namun yang rojih (kuat) adalah wanita haidh boleh membaca Al-Qur’an karena tidak ada dalil yang shohih dan shorih (jelas) yang melarang perbuatan ini (Lihat Jaami’ Ahkaamin Nisaa’, jilid 1, halaman: 182 oleh Syaikh Mushthofa al-‘Adawy حفظهالله), sedangkan perintah untuk membaca Al-Qur’an bersifat umum, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an)”. (QS. Al-Ankabut: 45)
Dan juga berdasarkan hadits ‘Aisyah Radiyallahu ‘anhaa berkata:
“Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam berdzikir kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam seluruh keadaannya”.(HR. Muslim (117)
Imam Bukhari, Ibnu Jarir Ath-Thobary dan Ibnul Mundzir Rahimahullah berkata: “Boleh (wanita haidh membaca Al-Qur’an)”.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata: “Tidak ada asalnya dalam sunnah wanita haidh dilarang membaca Al-Qur’an, adapun sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam:
لاَتَقْرَأُالْحَائِضُوَلاَالْجُنُبَشَيْئًامِنَالْقُرْآنِ
“Wanita haidh dan junub tidak boleh membaca Al-qur’an sedikitpun”.
Hadits ini dhaif menurut kesepakatan Ahli Hadits. Wanita pada zaman Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam mengalami haidh, seandainya membaca Al-Qur’an diharamkan bagi wanita haidh sebagaimana shalat, maka pastilah hal ini dijelaskan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam kepada umatnya dan diketahui oleh ummahatul mu’miin serta dinukilkan dikalangan manusia. Ketika tidak ada seorangpun yang menukil larangan ini dari Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam, maka tidak boleh menjadikannya haram, sebagaimana diketahui hal ini tidak dilarang. Jika tidak dilarang padahal banyak wanita haidh pada zamannya maka diketahui bahwa hal ini (membaca Al-Qur’an bagi wanita haidh) tidak diharamkan”. (Al-Fatawa 26/191), Wallahu A’lam.
Shaum
Haram bagi wanita haidh melaksanakan shaum. Berdasarkan hadits dari Abu Said Al-Khudry bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda:
أَلَيْسَإِذَاحَاضَتْلَمْتُصَلَّوَلَمْ َتصُمْ
“Bukankah jika wanita haidh maka dia tidak shalat dan juga tidak shaum ?“ (HR. Bukhari (304) dan Muslim (80).
Akan tetapi wajib baginya mengqodho shaum tersebut. Berdasarkan hadits ‘Aisyah Radiyallahu ‘anhaa:
كُنَّانُؤْمَرُبِقَضَاءِالصَّوْمِوَلاَنُؤْمَرُبِقَضَاءِالصَّلاَةِ
“Kami diperintahkan untuk mengqodho shaum dan tidak diperintahkan mengqodho shalat“.(HR. Bukhari 1/120 dan Muslim 1/262.)
Thawaf di Baitullah.
Diharamkan bagi wanita haidh thawaf di Baitulloh, berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam kepada ‘Aisyah ketika haidh:
افْعَلِيمَايَفْعَلُالْحَاجُّغَيْرَأَلاَّتَطُوْفِيبِالْبَيْتِحَتَّىتَطْهُرِي
“Kerjakanlah seluruh manasik yang dilakukan oleh orang yang berhaji kecuali janganlah engkau thawaf di Baitulloh sampai engkau suci“. (HR. Bukhari 1/77 dan Muslim 2/873).
Jima’
Diharamkan bagi suami berjima’ dengan isterinya yang sedang haidh di farji, berdasarkan kitabullah, sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam dan ijma kaum muslimin. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلاَتَقْرَبُوْهُنَّحَتَّىيَطْهُرْنَ
“Dan janganlah kamu mendekati (jima dengan) mereka sebelum mereka suci“. (QS. Al-Baqarah: 222.)
Dihalalkan bagi suami segala sesuatu selain jima, berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam:
اصْنَعُوْاكُلَّشَيْئٍإِلاَّالنِّكاَح
“Lakukanlah apapun juga kecuali nikah (yakni jima’ di farji)“. (HR. Muslim 1/246).
Talaq
Haram bagi suami mentalaq isterinya yang sedang haidh, berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
فَطَلِّقُوْهُنَّلِعِدَّتِهِنَّ
“Dan hendaklah kamu ceraikan mereka (isteri-isterimu) pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)“. (QS. At-Thalaq: 1)
Hukum Menggunakan Obat Penunda Haidh
Haidh adalah sesuatu yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetapkan bagi para putri Adam ‘alaihissalam. Maka hendaknya seorang wanita sabar dan ridho dengan ketetapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuknya.
Pintu-pintu kebaikan amatlah banyak وللهالحمد jika dia tidak dapat shalat dan shaum karena haidh, maka dihadapannya masih banyak pintu ketaatan yang lain dia dapat berdzikir, tasbih, tahmid, tahil, takbir membaca buku hadits, fiqih, dan lain-lain. Namun jika seorang wanita karena kebutuhan mendesak memerlukan obat-obatan penunda haidh maka ada beberapa fatwa ulama yang membolehkannya, diantaranya:
Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisy rahimahullah berkata:
Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah beliau berkata: “Tidak mengapa seorang wanita meminum obat pencegah haidh jika obat tersebut dikenal (tidak berbahaya)“. (Al-Mughny: 1/368)
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:
Seorang wanita boleh menggunakan obat penunda haidh dengan dua syarat:
Tidak membahayakan keselamatannya, jika membahayakan maka tidak boleh, berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
وَلاَتُلْقُوْابِاَيْدِيْكُمْإِلىَالتَّهْلُكَةِ
“Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan“.(QS. Al-Baqarah:195)
وَلاَتَقْتُلُوْاأَنْفُسَكُمْإِنَّاللهَكَانَبِكُمْرَحِيْمًا
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu“.(QS. An-Nisaa: 29)
Seizin suami jika suami memiliki kaitan dengannya. Misal wanita tersebut sedang dalam masa iddah yang wajib bagi suami menafkahinya, lalu dia menggunakan obat penunda haidh untuk memperpanjang waktu dan menambah nafkahnya, maka ketika itu dia tidak boleh menggunakan obet penunda haidh kecuali dengan izin suaminya. Demikian juga jika telah pasti bahwa obat penunda haidh dapat mencegah kehamilan maka harus dengan izin suami. Ketika ditetapkan hukum bahwa boleh mengkonsumsi obat tersebut namun yang lebih utama adalah tidak menggunakannya kecuali karena kebutuhan mendesak. Karena membiarkan suatu tabiat sebagaimana adanya akan lebih menjaga kesehatan dan keselamatan“. (Risalah Fi Ad-Dimaa’ At-Thobi’iyyah Li An-Nisaa’ hal: 43)
Syaikh Dr. Shalih Bin fauzan Al-Fauzan hafidzahullah berkata:
Diantara permasalahan yang wajib diperhatikan, yaitu bahwa sebagian wanita mengkonsumsi obat pencegah keluarnya darah haidh sehingga memungkinnya untuk shaum Ramadhan dan menunaikan haji.
Jika obat-obatan (pil) tersebut mencegah haidh beberapa waktu saja tidak selamanya, maka tidak mengapa mengkonsumsinya. Namun jika mencegah haidh selamanya, tidak diperbolehkan kecuali dengan izin suami, karena hal tersebut akan menyebabkan terputusnya keturunan. (Al-Mulakhosh Al-Fiqhy, Hal: 90)
Syaikh Musthofa Al-‘Adawy berkata:
Jika seorang wanita mengkonsumsi obat pencegah haidh karena udzur, misal dia berhaji bersama rombongan manusia, lalu khawatir akan tertinggal rombongan atau tertinggal jadwal penerbangan dan dia merasa kesulitan jika tetap tinggal, maka tidak mengapa mengkonsumsi obat penunda haidh. Dan setelah dia yakin haidhnya berhenti, dia mandi dan shalat kemudian thowaf di Baitullah jika dia mau“. (Jaami’ Ahkaam An-Nisaa’: 198).
Cara Mandi Haidh
Wanita haidh apabila telah suci wajib mandi dengan mensucikan seluruh tubuhnya, berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam kepada Fatimah Bintu abi Hubaisy Radiyallahu ‘anhaa:
فَإِذَاأَقْبَلَتِالْحَيْضَةُفَدَعِيالصَّلاَةَوَإِذَاأَدْبَرَتْفَاغْتَسِلِيوَصَلِّي
“Jika datang masa haidh maka tinggalkanlah shalat dan jika telah berlalu maka mandilah dan shalatlah“.(HR. Bukhari)
Tidak wajib mengurai rambut kepala ketika mandi haidh kecuali apabila terikat kuat dan menghalangi sampainya air ke pangkal rambut, berdasarkan hadits Ummu Salamah Radiyallahu ‘anhaa beliau bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam: “Aku adalah wanita yang mengikat kuat rambutku apakah aku harus menguraikannya ketika mandi junub? Dalam riwayat lain ketika mandi junub dan haidh? maka Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda
لاَإِنَّمَايَكْفِيْكِأَنْتُحْثِيعَلَىرَأْسِكِثَلاَثًاحَثيَاتٍثُمَّتُفِيْضِيْنَعَلَيْكِاْلمَاءَفَتَطْهُِريْنَ
“Tidak, cukup bagimu menyiramkan air ke atas kepalamu tiga cidukan kemudian engkau menyiramkan air ke seluruh tubuhmu, maka engkau suci”. (HR. Muslim 1/178).
Kewajiban mandi minimal dengan menyiramkan air ke seluruh tubuh sampai pangkal rambut. Sedangkan yang lebih utama sesuai dengan yang dijelaskan dalam hadits dari Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam ketika Asma Bintu Syak bertanya kepada beliau Shalallahu ‘alaihi Wassalam tentang mandi haidh, maka beliau Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda:
تَأْخُذُإِحْدَاكُنَّمَاءَهَاوَسِدْرَتَهَافَتَطَهَّرُفَتُحْسِنُالطُّهُوْرَ،ثُمَّتَصُبَّعَلَىرَأْسِهَافَتُدَلِّكُهُدَلْكًاشَدِيْدًاحَتَّىتَبْلُغَشُؤُوْنَرَأْسِهَاثُمَّتَصُبُّعَلَيْهَاالْمَاءَثُمَّتَأْخُذُفُرْصَةًمُمْسَكَةًأَيْقِطْعَةَقُمَاشٍفِيْهَامِسْكٌفَتَطَهَّرُبِهَا،فَقَالَتْأَسْمَاءُكَيْفَتَطَهَّرُبِهَا؟فَقَالَسُبْحَانَاللهفَقاَلَتْعَائِشَةُلَهَاتَتَّبِعِيْنَأَثَرَالدَّمَ
“Salah seorang diantara kalian menyiapkan air dan daun bidara (atau sesuatu yang dapat menggantikannya misalnya sabun), kemudian berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu menyiramkan air ke atas kepalanya dan menggosoknya dengan kuat sehingga mengenai pangkal rambutnya, kemudian menyiramkan air ke seluruh tubuhnya, lalu dia mengambil sehelai kapas atau secarik kain yang diberi minyak wangi dan bersuci dengannya“. Asma berkata: “Bagaimana cara bersuci dengan kapas tersebut?” Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam berkata: “Mahasuci Allah”. Maka ‘Aisyah berkata kepadanya: “Engkau mengusap bekas darah (farji) dengan kapas tersebut”. (HR. Muslim 1/179).
Inilah sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam yang banyak dilupakan dan diremehkan oleh wanita –kecuali yang dirahmati oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala– maka seharusnya kita mengikuti petunjuk beliau Shalallahu ‘alaihi Wassalam dalam seluruh aktivitas keseharian kita. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala melimpahkan taufiq kepada kita sehingga dapat mengamalkan sunnah nabawiyah baik yang besar ataupun yang kecilnya. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala melimpahkan sholawat dan salam untuk panutan kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wassalam. Wallahu A’lam
Maroji’:
Al-Qur’an Al-Karim dan terjemahnya, Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at Al-Mush-haf Asy-Syarif, Madinah – KSA
Al-Mulakhosh Al-Fiqhy, Syaikh Dr. Sholih Bin Fauzan Bin Abdullah al-Fauzan. Dar Al-‘Ashimah Riyadh – KSA, cetakan: pertama, tahun 1423 H
Tanbiihaat ‘Ala Ahkam Takhtashshu Bil Mu’minat, Syaikh Dr. Sholih Bin fauzan Bin Abdullah Al-Fauzan. Muassasah al-Haromain Al-Khoiriyah Riyadh – KSA, cetakan pertama tahun 1416 H
Risaalah Fi Ad-Dimaa’ Ath-Thobi’iyyah Li An-Nisaa, Syaikh Muhammad Bin Sholih Al-Utsaimin . Dar Al-Wathon Riyadh – KSA, tahun 1410 H
Jaami’ Ahkaam An-Nisaa, Syaikh Mushthofa Al-‘Adawy. Dar Ibni Affan Kairo – Mesir. Cetakan pertama tahun 1419 H
Masaail Fii Al-Haidh Wa Al-Istihadhoh Min Durus Manar As-Sabiil, Syaikh Kholid Bin Ali Al-Musyaiqih. Dar Al-Ashol, tahun 1420 H
Ditulis oleh Ustadzah Ummu Abdillah Lilis Ikhlasiyah Bintu Hasyim – dipublish ulang oleh Abu Arfa & radioassunah.com dari Majalah Al Bayan Edisi 9.